Cari

Sudah Pulang ke Desa, Lalu Sudah Bikin Usaha juga. Terus Udah Bisa Beli Avanza?

Apakabar mas di desa? Udah bisa beli Avanza? Hasyah pertanyaannya kok sama kayak di judul. Sini tak jawab dengan cepat, saya belum bisa beli Avanza.

Tahun pertama di Temanggung setelah keluar dari pekerjaan, ibarat ayam yang masuk program Free Range… lari kesana kesini sampai baru sadar uang yang dikeluarkan sudah terlalu banyak. Bahagia ke pelosok Temanggung dengan teman baru, bahagia ikut bantu tenaga untuk sebuah aksi keren di pelosok kebun bambu. Masuk komunitas “gemblung” dengan orang yang berpikiran di atas rata-rata. Lalu duduk dan menyesapi tembakau, kemudian menyadari bahwa bahagia saya kebanyakan dan jadi biasa aja. Hmmm…

Eh njuk mau kerja apa di desa? Kerja yang menghasilkan uang buat hidup dan bisa beli Avanza biar konkret legitimasi mapan dan sukses. Ya…ya…ya… ngeri banget ya pertanyaan yang diiringi kalimat suruh di atas. Belum selesai jawab ini, Pak Singgih ngasih tambahan tantangan lagi, bahwa saya harus dapat penghasilan 2x dari penghasilan saya waktu di kota. Seketika mulut dan hati tak sinkron, mulut auto bilang “amin” si hati mendadak sedih “waduh, gimana caranya, eh tapi oke juga buat penyemangat”.

Usaha 1. Makna-Makan

Ketemu Nanda dan Wendy, dua pemuda anomali yang memilih berkarya di kampung kelahiran, Temanggung. Setalah fa fi fu dan tukar ide beberapa hari maka kami sepakat membuat sebuah jamuan makan yang terinpirasi dari Secreet dining-nya mbak Lisa Virgiano, kembulan/kepungan atau makan bersama warga desa, serta jamuan makan tradisional ala warga desa di pegunungan. Dijadiin satu, lalu pusing sendiri. hihihi…

Makna Makan lahir dengan gaya ke-Jakartaan dan ke-ahensian saya. Cas…cis…cus dan was was wus… Menjadi binar ketika beberapa hari lalu, Nanda bilang ke saya “waktu itu gayamu kayak Alien”. Jadi nggak heran, banyak orang yang menaruh risih dengan gaya saya yang tak amboi itu. Makna Makan lancar? Wuah menjadi kejutan sekali acara pertama di tahun pertama pulang kampung. Acara jamuan makan dengan menu tradisional dengan kemasan berbeda, bertempat di rumah penduduk, yang masak penduduk dengan kurasi kami, disajikan dengan penceritaan layaknya teman makan. Sudah gitu saja. Kami hanya membuka 10 kursi saja dengan harga Rp 100.000/ kursi, dan terisi penuh. Seneng banget! Istirahat, evaluasi, lalu males mulai lagi. Sampai jumpa lagi ya Makna-Makan.

2. Frelancer Copywriting & Content Social Media

Kerja sebagai Freelancer di desa itu rasanya jadi pemasukan instan (kalau bayarannya nggak molor..hihihi) Ya gini maksudnya, kerja dengan durasi relatif pendek dan dengan upah yang relatif besar di desa. Nah itu dia. Tapi ya gitu namanya juga instan, easy come easy go… dan saya terlalu malas mengupayakan pekerjaan lain setelah proyek sebelumnya selesai. Ya sudah. Melakukan pekerjaan ini membuat pola pikir tak mapan, saya terbawa tempo cepat di sebuah tempat yang lambat. Tak nyaman, tak seimbang. Tak capai setahun, akhirnya berhenti.

3. Warung Makan Lik Cil

Siang terik, masuk ke dalam sebuah rumah panggung sederhana di pinggir sawah, menikmati jamuan pangan lokal yang dikemas dengan jamuan naratif, bertukar kata, dan canda akan kabar dunia. Ya begitulah.

Spedagi menawarkan ke saya lantai bawah Omah Tani untuk dikelola. Singkat saja, warung makan adalah pilihan terbaik. Otak-atik pikir dan itang-itung modal sampailah pada kemantapan hati untuk membawa konsep lokalitas dalam warung makan Lik Cil. Gonta-ganti sistem dan konsep, lalu satu tahun setengah cukup berjalan dan mengumumkan tutup.

Gembira dan sedih adalah kombinasi rasa pertama yang saya rasakan saat mengetik pemberitahuan di media sosial menyoal penutupan warung Lik Cil ini. Gembira karena bisa menggila dengan kepala dan bayangan, menembus batas imjiner, mengeruk segala rasa, menimba pengetahuan tradisi, mengenal kejayaan masa lalu melalui makanan. Asulah! Bahagia banget! Sedih karena Luhur berpulang tanpa kode, sedih karena saya menyadari saya tak bisa bagi peran sebagai pemasak sekaligus menjadi pengusaha.

Memasak adalah sebuah ritual berkenalan sekaligus berkelahi dengan diri sendiri. Kampret memang.

4. Menikah

Besty adalah perempuan yang bukan tipe saya, tapi dia adalah perempuan yang bisa meyakinkan saya, bahwa saya adalah manusia anomali yang pantas untuk bahagia dan sejahtera dengan pola pikir ini.

“Penghasilan akan datang bersama dengan kebutuhan yang dipikul” begitulah kata leluhur. Dan saya sekarang saya memikul kebutuhan yang lebih amboi lagi dengan datangnya jabang bayi dalam kandungan Besty. Terus penghasilannya nambah seiring dengan kebutuhan yang bertambah? Jawaban saya adalah “Penghasilan saya jadi ajaib”. Bukan bertambah pesat bak memilhara Jin, tapi penghasilan yang lebih akan datang disaat memang saya pantas dan butuh. Nah itu, kalau tak bisa dicerna pikir, ya dicerna pakai batin.

5. Ranah Bhumi

Toko Kelontong Terkurasi, inilah laku usaha yang sedang saya jalani dengan 6 teman. Cukup ajaib memang, bagaimana saya bisa terseret sampai di titik ini. Rantai pertemanan alamiah saling menarik satu sama lain. Berhulu dari Spedagi, terbawa arus ke Rumah Intaran, lalu berkenalan di sebuah Proyek Hijau, lalu saling menarik satu sama lain, dan berhenti di hilir Prawirotaman. Mewujudnyatakan semangat, merenovasi pola pikir, mengepak “bukan urusanku, masa bodoh”, menumbuhkan rasa cukup dan losss… ra rewel.

Mampirlah ke Ranah Bhumi, siapa tahu kamu ketemu dengan yang hilang saat dicari.

Begitulah yang menjadi upaya dalam 3 tahun ini di desa, tak berasa memang, karena memang tak dirasakan, cukup dinikmati. Menhir Avanza mungkin akan digeser dengan sebuah tempat yang difungsikan komunal untuk menggunjingkan dunia dengan tangan, kaki, kata, dan pertanyaan.

Di Kota Jengah. Mau Pulang Ke Kampung Belum Bisa Beli Avanza. Yowis Tak Apa, Nekat Saja.

“Bangun pagi sambil mata merem dengan iringan kipas angin lalu mempertanyakan Identitas diri, maksud dan tujuan hidup, dan guna diri selama 26 tahun. Setelah beberapa saat, hanya diam dan blayang pikiran. Asuoq!”

Kipas angin di Bekasi memang pekerja keras, ia terus menyala dalam kondisi apapun, pun kalau hujan dingin, kipas angin masih menyala walaupun di kecepatan paling rendah. Sejenak kipas angin udah mirip dengan radio, dinyalain buat nambahin suara ruangan. Nyamuk dan udara panas menjadi teman, yang pada dasarnya sering menjadi musuh. Lha gimana, saya ini asalnya orang gunung, sudah terbiasa dengan udara sejuk dan nir nyamuk, lha ini kok kebalikannya. Tapi apapun masalahnya, saya cukup beruntung bisa tinggal dengan status nebeng di tempat Kakak.

Bekasi ke Cipete, Jakarta Selatan saya lakoni hampir setiap hari kerja. Mendapatkan pekerjaan di daerah Jakarta Selatan adalah hadiah doa bocah kampung terbaik. Lingkungannya masih tergolong masih bisa di-adaptasikan dengan kekampungan saya, mulai dari gorong-gorong yang tidak berbau menyengat, banyak perumahan lawas yang tertata, warung-warung kecil yang mudah di raih, taman hijau, pohon besar di lingkungan perumahan mewah yang jalannya masih bisa diinjak rakyat tanpa saringan slip gaji atau turunan darah. Bekerjalah saya sebagai Copywriter di bisnis Advertising Agency, mewujudkan salah satu mimpi kecil sewaktu kuliah.

Pulang ke kampung halaman adalah sebuah hal ternekat dalam hidup saya. Umur 26 tahun, belum bisa beli Mobil Avanza, tabungan tipis, dan nggak tahu mau kerja apa di desa kelahiran. Orang tua apa kabar? Kabar baik walau sedikit kebingungan dan menyesalkan dengan keputusan saya. Ya nggak heran sih dengan reaksi orang tua seperti itu, saya memang di sekolahkan dan dibiayai dengan maksud bisa hidup lebih sejahtera daripada mereka. Nah, tapi saya tidak menemukan sejahtera dalam ruang lain  di Jakarta hanjuk gimana dong? Secara uang saya tidak kekurangan saat bekerja di Jakarta, walaupun tidak bisa membiayai semua ke-BM-an atau ingin ina itu, nongkrong ha hi hu, liburan fa fi fu. Di momen kebingungan dan kegalauan itu, kepala saya hanya diisi oleh hidup sejahtera ala tanah kelahiran. Jalan kaki di trotoar kota yang sepi, keliling kota tanpa macet, blusukan ke desa, ngobrol sama petani, menyecap kopi (walaupun nggak bisa banyak karena asam lambung), melinting tembakau hasil olahan petani, bersepeda memanen visual gunung kembar Sindoro & Sumbing. Nikmat sekali rasanya isi kepala.

Kenapa Avanza? Menjadi bahan guyonan dengan teman desa, Avanza adalah tanda kemapanan orang desa. Apalagi jika belinya baru dengan tanda pelat nopol warna putih dan bukan seri G (Avanza kelas doorprize)… hmmmh! Mapan sekali tandanya!

Desember 2016 mulai Resign dari dunia kantor untuk sementara, menyanggupi ajakan Pak Singgih untuk membantu acara Homecoming For Upcoming, semacam acara yang membahas berdaya dari desa, serta urun tenaga untuk membantu menyiapkan Pasar Papringan. Komunitas Spedagi menjadi pompa api semangat serta perajut rencana bagaimana yang seharusnya dilakukan untuk mandiri di desa. Januari 2017 kembali ke Jakarta, menggenapi kontrak kerja dengan kantor baru, masih di dunia Periklanan namun bergeser sedikit ke digital. Ya hitung-hitung mempersiapkan masa pensiun yang lebih tertata, tapi itu hanya rencana saja, hasilnya tetap saja… hahaha… persoalannya cukup fundamental sih, karena gini; nggak tahu mau ngumpulin modal berapa banyak, karena nggak tahu juga mau usaha apa di desa. Semakin banyak mau ngumpulin, semakin lama menunda kepulangan di desa. Wis ah, nekat saja, mulai saja!

Desember 2017, Resign lagi! Benar-benar sudah saatnya mulai menjadi orang desa lagi, dengan pola pikir baru. Banyak orang yang bertanya, alasan apa ingin kembali ke kampung halaman? Jawaban saya saat itu sesederhana

“Saya nggak bahagia di kota, saya punya tempat dan lingkungan yang bisa mewujudkan kebahagian itu, desa!”

Nekat sih memang, saya akui. Kenekatan saya menyajikan sebuah perjuangan untuk mencukupi kemandirian ekonomi. Lepas gaji bulanan, berarti harus berkarya lebih beringas, cerdik, dan cekatan mendengar dan melihat.

Lanjut besok lagi ya… tulisan selanjutnya mau membahas usaha apa saja yang telah dan sedang saya lakukan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi di desa, apakah sudah sukses dan bahagia di desa? Ya sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Aqid, Remaja Kritis di Desa, & Anomali

7 tahun nggak sekolah formal, menjalani keruwetan di alam pikir, bingung cari teman yang sepikiran, dan  dikira umur 20-an. Ah itu baru seikat samsara Aqid sebagai manusia yang berkehendak bebas.

 

Menggambarkan warna Aqid dalam 300 kata itu sungguh banxinan menantangnya. Tai kucing! Bentar, nyetel Bob Dylan dulu dan Nirvana dulu buat melancarkan cerna kata dan laju alur untuk ‘mengkafani’ remaja anomali ini dalam deretan diksi.

 

Baiklah, spotify gratisan lumayan membantu menyiarkan lirik dan irama Bob Dylan serta isi kepala yang dibungkus marah hati Kurt Cobain. Sekilas pikiran mengembara liar dan mendapati visual, sebatang pohon Aren yang sedang dipukul pukul bagian batang atas agar lancar mengeluarkan Nira. Terlihat sakit, namun habis itu sari keluar dan tentunya yang ditunggu. Entah menjadi gula atau disantap nira tuanya. Amboi! Ah benar juga, jangan-jangan remaja gondrong ini adalah buah Aren yang muncul dalam penggalan visual barusan? Apapun itu Aqid masih susah diurai dalam sebuah diksi narasi yang menuhankan rima.

 

Manusia itu mahkluk paling gampang bosan, banyak kegiatan dan tidak ada kegiatan hadiahnya juga bosan. Suka atau tidak, jadwal adalah jimat penghindar manusia dari mati bosan. Jadwal juga menjadi pemberi harapan, pandangan bagi manusia untuk merencanakan kehidupan di masa mendatang. Nah bagaiamana dengan Aqid? Dia tidak sekolah formal, tidak juga mengambil Homeschooling, atau membuat jadwal belajar mandiri. Matikah dia dicabik-cabik bosan? Ketika ia bercerita, hidupnya penuh dengan hukuman lingkaran kebosanan. Tidur, makan, nongkrong, main gitar, gitu terus. Ya itulah Aqid memandang hidupnya, yang masih abu-abu. Ada jiwa yang terbelunggu dalam sebuah bungkusan raga yang bebas, merdeka.

 

Namun sudut pandang itu tidak sepenuhnya dipakai oleh orang sekitarnya. Kepala tua di seklilingnya menganggap Aqid adalah remaja yang tidak bergizi baik, omongannya melebihi usianya, anomali. Kepala sebaya menganggap Aqid adalah Role Model, seorang remaja yang bebas tanpa rantai budaya, kepatuhan, dan beban sekolah.

 

Begitulah Aqid dalam tiga ratus kata.

 

Ilustrasi : Shapeq

Dateline Karet Penuh Pengampunan

Temanggung, akhir-akhir ini sedang panas, hujan, berkabut. Temanggung sedang labil.

Hah, sedang melawan pengampunan diri akan dateline. Pas kerja, ada yang ngurusin dateline, ada yang ngingetin terus, sampai jatuhnya berisik. Tapi kerjaan kelar, sesuai Dateline. Sekarang, yang bikin Dateline ya sendiri, yang ngerjain kerjaan juga sendiri, yang ngingetin Dateline juga diri sendiri. Dan akhirnya Dateline hanya sekedar batasan semu. Sial.

Sibuk!

Okai, sudah lama saya nggak nulis.

Saya sibuk, sibuk cari niat buat nulis. Hash!

Beberapa pekan sedang sibuk menggarap ina-itu di warung, di Paspring. Semua menyedot pikiran. Akhirnya hanya tidur saja jika sudah di rumah. Sungguh melelahkan, desa juga bisa sibuk. Kemudian saya berfikir, desa itu adalah medium, sedangkan apa yang ada dalam diri saya masih dalam pusaran kota. Pola pikir, ritme pekerjaan. Yang tidak hanya kemalasan karena tidak ada Account yang ngejar-ngejar dateline. Baiklah.

Banyak masak, banyak uji coba. Baiklah sekian, saya akan masak lagi.

Warung Makan Lik Cil dan Harapan Kemandiarian Financial

16 Agustus 2017 akhirnya saya nekat membuka Warung Makan Lik Cil. Kenapa Nekat, karena belum mengetahui semua halangan secara teknis maupun rencana bisnis. Saya memutuskan untuk nyemplung dan siap segala risiko lumpur atau hewan apa saja yang ada di dalam. Ya saya siap!

Boom! Hari Pertama buka. Desain dapur terbuka membuat angin dengan gampangnya menggoyang api, dan berhasil menggoyang emosi saya! Masakannya kapan matangnya!  Baik, dapur harus ketutup! Pak Muh, terima kasih telah menutup dapur.

Hari berikutnya, tikus. Wastaga, tikus ngacak-ngacak dapur! Karena belum punya anggaran buat menutup rapat permanen, jalan tengahnya adalah tidak menaruh bahan makanan di dapur. Lupa memasukkan bahan makanan ke gudang, adalah kerugian. Duh!

Hari berikutnya dan berikutnya selalu menemukan kekurangan yang menjadi pekerjaan. Ya Lik Cil selalu dalam renovasi, kurang inilah, yang itu dipindah, kena luapan air (yang ini sedih sih), banyak tahi kelelawar, jamur, tempiyas hujan. Ya begitulah bangunan di pinggir sawah. Sungguh dinamis. Ini semua atas nama kemandirian finansial di desa. Saya patut membuktikan bahwa di desa pun bisa mandiri finansial. Hahaaa…

Semakin hari semakin mencari dan semakin menemukan pecahanpecahan posisi Lik Cil mau di posisikan bagaimana, dimana, dan seperti apa. Mohon doa teman-teman.

Mereka Menikah dengan Biaya Relatif Murah dan Ide yang Relatif Mahal

Pasar Papringan Spedagi di Ngadiprono.
 
 
Entah kenapa, menikah dan biaya mahal menjadi pasangan sejoli yang menjadi momok banyak pasangan yang ingin menikah, apalagi pasangan yang sedang meniti karir atau yang sudah lama bekerja tapi gajinya selalu dirasa tak cukup (gajinya nggak naik-naik). Baiklah.
 
Kemudian sekelompok mahkluk hidup yang berakal budi berkumpul di Pasar Papringan Spedagi di Ngadiprono dan bekesimpulan membuat salah satu ritual pernikahan di Pasar Papringan. Berpikir dan berkreasi sangat mahal, jauh dari kata murah apalagi murahan. Dan mereka berhasil memisahkan pemahaman menikah dan biaya mahal.
 
Sederhana saja, segar, dan sakral.

Saya Menanam Alarm di Dalam Otak

“Enak ya bisa bangun pagi! Eh tapi, butuh banget bangun pagi?” Saya berhenti bertanya, saya bangun pagi, dan lihat apakah saya butuh atau tidak.

Masih hangat dalam ingat, bagaimana saya membuat alarm kesadaran dalam pikiran saya. saya ingat-ingat lagi bagaimana cara detilnya. Beberapa kali saya ucapkan “aku mau bangun pagi!” dari sore sampai menjelang tidur, saya ucapkan berkali-kali. Berhasil bangun pagi? Ya! Berhasil! Saya bangun jam 05.00 pagi! Kemudian pegang HP. Hari berikutnya saya ingin lebih produktif, sebelum tidur saya membuat jadwal kegiatan yang akan saya lakukan. Salah satunya Blogging.

Dan ternyata, butuh atau tidak bangun pagi, saya belum tahu, tapi saya suka dengan atmosfer subuh.

“Bulan puasa mau ngapain ya?”

Yeay! Warung sudah selesai renovasi! Eh tapi udah masuk bulan puasa, lama banget kalau nunggu selesai puasa buat jualan. Aha! buka warung kopi aja pas malam. Mari kita belanja perabotan!

Duh males ngetik. Oke buat cepet aja.

Lampu semua terpasang, undangan tersebar. Warung Lik Cil sungguh begitu kuning di pinggir sawah, hangat sekali. Teman mulai datang. 2 jam kemudian, teman yang datang tak kunjung pulang, alahasil kursi semua terisi. Baik kesimpulannya, lalu lintas pengunjung tak baik, saya capek karena belum dapat karyawan, dan listrik nun borosnya. Baik tutup dulu saja.

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑